Beranda | Artikel
Wasiat Ibnu Masud 2 Tentang Bagaimanakah Semestinya Seorang Mukmin Memandang Dosa-dosanya?
Kamis, 10 Juni 2010

Wasiat yang kedua dari Ibnu Mas’ud sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari[1]  dalam shahihnya dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim[2]  namun ia tidak meriwayatkan lafal perkataan Ibnu Mas’ud.

Ibnu Mas’ud berkata,

إن المؤمن يرى ذنوبه كأنه قاعد تحت جبل يخاف أن يقع عليه, وإن الفاجر يرى ذنوبه كذباب مر على أنفه فقال به هكذا فذبه عنه

((Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya[3]. Dan seorang fajir memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat[4] yang lewat di hidungnya lalu ia berkata demikian (mengipaskan tangannya di atas hidungnya[5]) untuk mengusir lalat tersebut))

Kedudukan manusia terhadap dosa ada dua kedudukan:

1. Kedudukan orang mukmin yang berdosa
2. Kedudukan orang fajir yang berdosa

Orang mukmin yang melakukan ketaatan-ketaatan dan dia dalam keadaan takut, Allah berfirman:

?وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ?[المؤمنون: 60][6]

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka (QS. 23:60)

Apakah maknanya?, yaitu orang-orang yang sholat, bersedekan,berzakat, dan berpuasa kemudian mereka takut tidak diterima oleh Allah dari mereka (amalan-amalan mereka tersebut)[7], ini adalah (keadaan seorang mukmin) dalam ketaatan, maka bagaimana jika ia melakukan dosa?, bagaimanakah kondisinya?, berkata Ibnu Mas’ud, ((Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya)). Dan inilah yang semestinya, yaitu hendaknya kita merasa besar (tidak meremehkan) terhadap dosa yang kita lakukan yang berkaitan dengan hak Allah, kita berdosa karena kurang dalam menunaikan perkara-perkara yang wajib, kurang dalam menunaikan sholat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dalam menunaikan hak-hak manusia, dalam bermu’amalah, dalam bekerja, berbuat curang, tidak amanah, dalam bermualah dengan istri, dengan kedua orang tua, tidak durhaka, dan dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan. Jika bertambah ilmumu maka engkau akan melihat bahwasanya pada setiap detik yang engkau jalani maka ada perintah Allah dan larangan Allah atasmu. Detik-detik yang kau jalani kalau tidak dalam amalan badan maka pada amalan lisan atau amalan hati, maka pada setiap detik dalam hidupmu ada perintah Allah dan larangan Allah yang berkaitan denganmu, bahkan jika engkau duduk dian maka hatimu kalau tidak bergerak dalam kemaksiatan yaitu kemaksiatan hati seperti kesombongan dan berburuk sangka, atau memikirkan (sesuatu yang diharamkan) misalnya atau hati melakukan amalan-amalan yang mengkibatkan perkara-perkara yang tidak diperbolehkan, misalnya ia berfikir bagaimana cara mengambil sesuatu yang bukan haknya atau..atau…dan seterusnya. Ini semua adalah dosa jika diamalkan oleh hati setelah hanya sekedar lintasan pikiran. Diantaranya juga dosa-dosa yang berkaitan dengan hati meskipun ia tidak melakukan sesuatu, misalnya meninggalkan tawakal, seperti meninggalkan kesabaran, seperti ujub, riya, dan seterusnya. Maka setiap detik gerakan-gerakanmu dan juga detik-detik diammu Allah memiliki perintah dan larangan yang berkaitan denganmu, dan pasti engkau akan tertimpa kelalaian, kelalaian, dan kelalaian.

Maka seorang mukmin hendaknya takut, melihat dosa-dosanya seakan-akan ia duduk dibawah gunung kawatir gunung tersebut (sewaktu-waktu) jatuh menimpanya. Oleh karena itu manusia diperingatkan dari dosa-dosa mereka dan agar mereka tidak lalai dengan dosa-dosa tersebut. Dan juga seseorang diingatkan agar jangan sampai ia wafat di atas dosa-dosanya sebelum ia beristighfar, diingatkan jangan sampai ia termasuk orang-orang yang selalu berwas-was sebelum ia sempat untuk bertaubat dan beristigfar. Oleh karena itu seorang mukmin dengan perkataan Ibnu Mas’ud ini selalu benar-benar berwaspada dan ia menyertakan kewaspadaannya itu dengan memperbanyak istigfar. Oleh karena itu Nabi r beristigfar dalam sehari semalam lebih dari seratus kali, dan dalam satu majelis tujuh puluh kali atau seratus kali, dan demikianlah keadaan para sahabat, dan inilah keadaan seorang mukmin selalu takut, ia takut dari dosa-dosanya dan mengharapkan rahmat Allah.

Adapun orang fajir yang melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang tak terhingga maka iapun melakukan dosa-dosa besar melakukan perkara-perkara yang membinasakan dan bid’ah-bid’ah, meninggakan sunnah, mengambil pendapat yang kosong dari dalil dan meninggalkan hadits-hadits Nabi r dan dosa-dosa yang lain namun ia tidak merasakannya bahkan seakan-akan dosa-dosa tersebut seperti lalat yang melewati hidungnya dan dia berkata demikian (yaitu mengusir lalat tersebut dengan tangannya).

Adapun orang mukmin maka Allah merahmatinya dengan menjadikan sholat ke sholat yang lain merupakan penghapus dosa-dosa diantara keduanya, Romadhon ke Romadhon merupakan penghapus dosa-dosa diantara keduanya, umroh ke umroh merupakan penghapus dosa-dosa yang ada diantara keduanya dengan syarat meninggalkan dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah

?إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا?[النساء:31]

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia(surga). (QS. 4:31)

Maka syarat untuk dihapuskannya dosa-dosa yaitu dijauhinya dosa-dosa besar. Sholat yang satu ke sholat yang lain merupakan penghapus dosa, namun apakah semua sholat?, tidaklah demikian, bahkan ada sholat yang dilakukan oleh seorang hamba namun tidak menghapus dosa-dosanya demikan juga puasa yang dilakukan oleh seorang hamba –yaitu puasa Romadhon- namun tidak menghapus dosa-dosanya dan umroh ada yang tidak menghapuskan dosa. Maka setiap ibadah dari ibadah-ibadah ini ada syaratnya agar bisa menghapus dosa-dosa. Misalnya sholat telah ada hadits shahih bahwasanya Rasulullah r bersabda,

من صلى الصلاة فأتم ركوعها وسجودها وخشوعها كانت له كفارة فيما بينها وبين الصلاة والأخرى ما اجتنبت الكبائر

“Barangsiapa yang sholat kemudian menyempurnakan ruku’nya, sujudnya, dan khusyu’nya maka akan menjadi penebus dosa (yang ada) antara sholat tersebut dengan sholat yang lain selama dijauhi dosa-dosa besar”

Wudhu juga menjadikan dosa-dosa berguguran bersama air akan tetapi sebagaimana sabda Nabi r dalam hadits yang shahih من توضأ ما أمره الله ((Barangsiapa yang berwudhu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah)), dan demikian juga umroh.

Oleh karena itu termasuk rahmat Allah yaitu Allah menjadikan variasi dalam ibadah. Allah menjadikan antara sholat yang satu dengan sholat yang lain sebagai penebus dosa. Diantara manusia ada yang tersisa dosanya dan tidak bisa dihapuskan dengan sholat maka bisa dihapuskan dengan puasa Romadhon. Ada orang yang tidak bisa puasa Romadhonnya menghapus dosa-dosanya maka bisa dihapuskan dengan sholat jum’at yang dengan sholat jum’at yang lainnya. Ada yang sholat Jum’at tidak bisa menghapus dosanya maka datanglah umroh menghapus dosa-dosanya yang diantara dua umroh dari dosa-dosa besar. Maka hendaknya seseorang dalam keadaan takut untuk melakukan kemaksiatan, bagaimana lagi yang dilakukannya adalah termasuk dosa-dosa besar seperti zina, minum khomr, riba, dan sihir??. Dosa-dosa seperti ini bisa dihindari oleh orang-orang sholeh namun di sana ada dosa-dosa besar yang orang-orang sholeh tenggelam di dalamnya dan diantara mereka ada yang tidak merasa atau tidak menganggapnya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud tentang sifat orang fajir “Seperti lalat yang lewat pada hidungnya lalu ia melakukan demikian (mengusirnya)”

Dan sifat ini banyak menimpa orang-orang di zaman ini seperti gibah padahal gibah termasuk dosa besar karena Allah berfirman

?وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ?[الحجرات:12]

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 49:12)

Para ulama mengatkan Allah menjadikan gibah seperti memakan bangkai dan memakain bangkai adalah dosa besar maka hal ini menunjukan bahwa gibah termasuk dosa besar. Demikian juga namimah (mengadu domba dengan menghasut) dan berdusta termasuk dosa besar. Gibah adalah engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang ia benci. Dan sholat ke sholat yang lain menghapuskan dosa-dosa selama dijauhi dosa-dosa besar maka apakah kita takut ataukah kita tenang?? Allahul Musta’an. Jika engkau tidak menjauhi dosa-dosa besar ini maka sholat yang ke sholat yang lain bukanlah penghapus dosa, bagaimana lagi jika lebih dari itu yaitu dusta. Gibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakana benar ada pada saudaraku?”, Rasulullah r berkata, “Jika pada saudaramu apa yang telah kau katakana maka berarti engkau telah menggibahnya (menggunjingnya) dan jika tidak demikian berarti engkau telah berdusta tentangnya”. Dan dusta dosanya lebih besar daripada gibah dan demikianlah ada orang yang ghibah dan berbicara dengan lisannya dan ia tidak takut seakan-akan seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya dan ia mengusirnya. Dan ghibah paling banyak menimpa orang-orang sholeh. Ibnu Taimiyah berkata,

إن الصالحين يجتنبون كبائر الذنوب مثل الزنا أو شرب الخمر والسرقة؛ ولكنهم يقعون في ذنوب اللسان والقلب

“Sesungguhnya orang-orang sholeh menjauhi dosa-dosa besar seperti zina atau minum khomr dan mencuri, namun mereka jatuh dalam dosa lidah dan hati”

Seseorang merasa besar dalam hatinya dan sombong, jika ada orang lain lewat di depannya maka ia meyepelekan orang tersebut dan menganggap dirinya yang besar (yang terbaik). Seandainya ia mengetahui hakikat bisa jadi orang yang disepelekannya lebih mulia di sisi Allah daripada dirinya. Maka seseorang hendaknya menghisab dirinya, ada orang-orang yang duduk lama sekali sambil bergibah ria. Dan gibah itu bertingkat-tingkat dan yang paling besar adalah seseorang menggibahi orang yang memiliki hak atasnya seperti para ulama, kedua orangtua, dan yang semisalnya. Jika pada orang yang kau gibahi itu sebagaimana yang kau katakana maka kau telah menggibahinya dan jika tidak maka engkau telah berdusta tentangnya.

Ini semua adalah dosa, maka renungkanlah kalimat-kalimat ini, janganlah engkau terpedaya bahwasanya engkau adalah ahli ibadah, engkau melihat dirimu bahwasanya engkau adalah yang suka ibadah ini..ibadah itu..sehingga engkau tidak merasakan dosa yang telah meliputimu tanpa engkau sadari karena kurangnya ilmumuj. Adapun seseorang jika ia berilmu, adapun seorang muslim atau wanita muslimah jika ia mengetahui perintah Allah maka akan ada dalam hatinya rasa takut. Allah berfirman

?إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ?[فاطر:28]

Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya adalah orang-orang yang berilmu (QS Fatir: 28)

Maka jika seseorang melakukan dosa maka akan ada dihati rasa takut, ia tidak tahu apa yang akan Allah lakukan padanya akibat dosa tersebut, yang terkadang dosa tersebut dilakukan dengan lisan atau dengan hati atau dengan anggota-anggota tubuh.

Dengan demikian ini wasiat ini porosnya adalah engkau menganggap besar urusan dosa dan tidak menyepelekannya. Jika engkau menganggap besar urusan dosa maka seakan-akan engkau duduk dibawah gunung engkau takut gunung tersebut akan jatuh menimpamu maka engkau akan berusaha untuk meminta ampunan Allah, engkau akan berusaha untuk bertauba, engkau akan berusaha untuk meninggalkan dosa-dosa dan engkau meminta dengan sangat kepada Allah agar mengmpunimu dan memaafkanmu, dan ini adalah ibadah-ibadah yang menyertai ibadah-ibadah.

 

Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh Firanda Andirja dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh

Artikel www.firanda.com

 

—————-

Catatan Kaki:

[1] Atsar Riwayat Al-Bukhori 5/2324 no 5949

[2] Lihat Fathul Bari 11/105

[3] Berkata Ibnu Abi Hamzah, “Sebab hal ini adalah karena hati seorang mukmin diberi cahaya, maka jika ia melihat dari dirinya apa yang menyelisihi cahaya hatinya maka perkaranya akan terasa besar baginya. Dan hikmah dari permisalan dengan gunung adalah bahwasanya perkara-perakara yang membinasakan selain gunung bisa saja seseorang selamat darinya berbeda dengan gunung, jika jatuh menimpa seseorang maka biasanya ia tidak akan selamat. Dan kesimpulannya bahwasanya seorang mukmin didominasi oleh rasa takut karena imannya yang kuat maka ia tidak merasa aman dari siksaan dengan sebab dosa-dosanya, dan inilah kondisi seoerang muslim ia selalu meras takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah, ia merasa amalannya kecil dan takut dengan perbuatan dosa yang kecil”   (Fathul Bari 11/15)

Berkata Ibnu Rojab, “Dan demikianlah keadaan kebanyakan orang-orang yang takut kepada Allah dari kalangan salaf. Diantara mereka ada yang berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwasanya engkau telah berdosa?”, ia menjawab, “Benar”, ia berkata, “Lantas engkau mengetahui bahwa Allah mencatat dosamu itu atas engkau?”, ia berkata, “Benar”, ia berkata, “Beramalah hingga engkau mengetahui bahwa Allah telah menghapus dosamu itu”…

Dan mereka mencurigai amalan-amalan mereka dan taubat mereka, mereka takut jika hal itu tidak diterima dari mereka maka ketakukan mereka ini menyebabkan rasa takut yang amat sangat dan menyebebkan bersungguh-sungguh dalam beramal sholeh.

Hasan Al-Bashri berkata, أدركت أقواما لو أنفق أحدهم ملء الأرض ما أمن لعظم الذنب في نفسه “Aku bertemu dengan kaum-kaum yang jika salah seorang dari mereka berinfaq sejumlah seluas bumi ini maka ia tidak akan merasa aman karena besarnya bahaya dosa di sisinya”. Berkata Ibnu ‘Aun, لا تثق بكثرة العمل فإنك لا تدري أيقبل منك أم لا ولا تأمن ذنوبك فإنك لا تدري أكفرت عنك أم لا إن عملك مغيب عنك كله “Janganlah engkau percaya diri dengan banyaknya amal karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah diterima darimu atau tidak, dna janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu dimaafkan atau tidak, sesungguhnya amalanmu tidak nampak olehmu” (Jami’ul ‘ulum wal hikam 1/174)

Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Ini hanyalah sifat orang mukmin karena rasa takut yang terlalu besar terhadap Allah dan dari siksaanNya. Hal ini karena ia di atas keyakinan bahwa ia berdosa dan ia tidak yakin bahwa ia diampuni” (Fathul Bari 11/105)

Berkata Ibnu Battol, “…Hendaknya seorang mukmin untuk sangat takut kepada Allah atas segala dosa yang ia lakukan baik dosa kecil maupun dosa besar karena Allah terkadang meng’adzab karena dosa kecil, sesungguhnya Allah tidak ditanya tentang apa yang ia lakukan (tidak ditanya kenapa Ia meng’adzab karena dosa kecil), Maha Suci Allah” (Fathul Bari 11/106)

[4] Berkata Ibnu Hajar menjelaskan permisalan lalat, “Yaitu dosanya terasa ringan dan gampang menurutnya, ia tidak meyakini bahwa dosanya akan mengakibatkan bahaya yang besar sebagaimana bahaya lalat kecil menurutnya dan demikianlah ia mengusir lalat (dengan mudahnya).” (Fathul Bari 11/105)

Berkata Ibnu Abi Hamzah, “…sedikitnya rasa takut terhadap dosa-dosanya dan ringannya dosa-dosa tersebut di sisinya merupakan pertanda akan kefajirannya” (Fathul Bari 11/105)

Berkata Ibnu Abi Hamzah, “Dan hikmah penyerupaan dosa-dosa orang fajir dengan lalat karena lalat merupakan hewan yang terbang yang paling ringan dan yang paling hina dan ia merupakaan hewan yang sering kelihatan dan sangat mudah untuk diusir…dan penyebutan hidung untuk penekanan yang menunjukan keyakinan orang fajir tersebut akan ringannya dosanya di sisinya karena alat jarang hinggap di hidung akan tetapi biasanya hinggap di mata…dan isyarat tangannya merupakan penekanan akan ringannya dosa tersebut karena dengan ukuran yang ringan ini (yaitu hanya dengan mengipaskan tangan di atas hidungnya) bisa terhindarkan gangguan lalat tersebut” (Fathul Bari 11/105)

Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Dan orang fajir sedikit ma’rifahnya kepada Allah oleh karena itu sedikit rasa takutnya dan meremehkan kemaksiatan”. Berkata Ibnu Abi Hamzah, “Sebabnya karena hati orang fajir gelap maka terjadinya kemaksiatan terasa ringan di sisinya, oleh karena itu engkau mendapati orang yang melakukan kemaksiatan jika diingatkan ia berkata, “Ini gampang”” (Fathul Bari 10/115)

[5] Sebagaimana perkataan Abu Syihab بيده فوق أنفه

[6] Berkata Asy-Syinqithi, “Ketahuilah bahwasanya ketakutan seorang mukmin terhadap Allah tatkala mendengar penyebutan Allah tidaklah bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Allah bahwaya hati orang-orang mukmin tenang tatkala mengingat Allah sebagaimana dalam firman Allah

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد : 28 )

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)

Dan sisi penjamaan antara pujian Allah terhadap mereka dengan ketakutan mereka tatkala mengingat Allah dan pujian Allah terhadap mereka dengan ketenangan hati mereka dengan mengingat Allah padahal ketakutan dan ketenangan adalah dua perkara yang saling bertentangan adalah…ketenangan tatkala mengingat Allah adalah dengan lapangnya (menerimanya) dada dengan mengenal tauhid dan benarnya apa yang dibawa oleh Rasulullah r, maka ketenangan mereka dengan hal itu sangatlah kuat yang tidak disentuh oleh keraguan-keraguan dan tidak juga syubhat-syubhat. Dan rasa takut tatkala mengingat Allah adalah karena takut menyimpang dari petunjuk dan tidak diterimanya amal sholeh sebagaimana firman Allah tentang para ulama yang kokoh (mendalam) keilmuannya

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا (آل عمران : 8 )

(Mereka berdoa), “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami” (QS. 3:8)

Dan juga firman Allah

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (المؤمنون : 60 )

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka (QS. 23:60)

Dan juga firman Allah

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ (الزمر : 23 )

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. (QS. 39:23)

Oleh karena itu Rasulullah r berdoa dalam doanya ((Wahai Yang membolak balikan hati tetapkanlah hatiku di atas agamaMu))” (Adhwa’ul Bayan 5/259)

[7] Sebagaimana HR At-Thirmidzi 5/327 no 3175, Ibnu Majah 2/1404 no 4198, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/304 no 162

عن عائشة أنها قالت يا رسول الله الذين يؤتون ماآتوا وقلوبهم وجلة هو الذي يسرق ويزني ويشرب الخمر وهو يخاف الله عز وجل قال لا يا بنت الصديق ولكنه الذي يصلي ويصوم ويتصدق وهو يخاف الله عز وجل أن لا يتقبل منه

Dari A’isyah bahwasanya ia berkata, “Wahai Rasuluah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dan hati-hati mereka takut, ia adalah orang yang mencuri, berzina, dan meminum khomr kemudian takut kepada Allah?”, Rasulullah r berkata, “Tidaklah demikian wahai putri As-Siddiq (Abu Bakr) akan tetapi yang sholat, puasa, bersedekah, dan dia takut kepada Allah tidak diterima oleh Allah”

Berkta Hasan Al-Basri, عملوا لله بالطاعات واجتهدوا فيها وخافوا أن ترد عليهم “Mereka beramal ketaatan karena Allah dan mereka bersungguh-sungguh dan mereka takut ditolak amalan mereka” (Tafsir Al-Bagowi 3/311). Beliau juga berkata, لقد أدركت أقواما كانوا من حسناتهم أن ترد عليهم أشفق منكم على سيآتكم أن تعذبوا عليها “Sungguh aku telah menemui kaum yang mereka lebih takut kebaikan-kebaikan mereka tertolah daripada takutnya kalian diadzab karena kemaksiatan kalian” (Ahkamul Qur’an lil Jasshosh 5/93)

Diriwayatkan dari Ali beliau berkata,”Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal) dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal), apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27).

Dari Fadholah dia berkata,”Saya mengetahui bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai daripada dunia dan seisinya karena Allah berfirman إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.

Berkata Abu Darda’,”Saya mengetahui bahwa Allah telah menerima dariku satu sholat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya karena Allah berfirman إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.[7]”

Berkata Malik bin Dinar,”Rasa takut kalau amalan tidak diterima lebih berat daripada beramal”. Berkata ‘Ato’ As-Sulami,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah”

Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal soleh, namun jika mereka telah selesai beramal mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”

Oleh karena itu para saaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.[7]

Wuhaib bin Al-Ward tatkala membaca firman Allah وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ  رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ “Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa),”Wahai Tuhan kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu” (QS 2:127), maka beliau (Wuhaib bin Al-Ward)pun menangis seraya berkata,”Wahai kekasih Ar-Rahman, engkau meninggikan rumah Ar-Rohman lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar-Rohman” (Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rojab dalam Wazdoif Romadhon hal 73, kecuali atsar Abu Darda’. Lihat tafsir Ibnu Katsir surat Al-Maidah ayat 27 dan Al-Baqoroh ayat 127)

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/37-wasiat-ibnu-masud-2-tentang-bagaimanakah-semestinya-seorang-mukmin-memandang-dosa-dosanya.html